Oleh: Fary Francis
MANADO,kabar99news.com-Hari-hari ini banyak kalangan memberi atensi terhadap figur Bapak Prabowo Subianto, sang calon Presiden dari Partai Gerindra. Ada banyak ulasan, analisis dan kajian yang muncul ke publik terlebih setelah peristiwa Batu Tulis jilid kedua. Mungkin untuk sebagian kalangan atau kaum awam politik peristiwa Batu Tulis itu sesuatu yang biasa, normal, dan wajar saja. Tetapi bagi kader dan pengurus Partai Gerindra, bagi penikmat politik, bagi rakyat melek politik, momentum Batu Tulis itu sangat mendalam dan punya makna luar biasa. Terlebih bagi SANG PATRIOT, Prabowo Subianto.
Bicara tentang momentum Batu Tulis, jilid pertama ataupun kedua, saya jadi teringat kata-kata Presiden Gus Dur. Menurut sang guru bangsa ini, pemimpin yang tulus itu hanya Prabowo Subianto. Pernyataan itu memang benar. Karena ketulusan itulah, Sang Patriot berkali-kali dikhianati, dikibuli, diberi harapan palsu. Semua itu terkristalisasi secara massif dalam momentum Batu Tulis.
Dulu hal ini tidak diketahui banyak orang. Saat ini sudah terbuka ke mana-mana. Perjanjian Batu Tulis pertama. Saat itu, tahun 2009, Prabowo bersedia menjadi calon wakil presiden yang berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri. Dibuatlah perjanjian bahwa tahun 2014, dalam pilpres, Prabowo akan didukung menjadi calon presiden. Namun, ketika tiba momen Pilpres 2014, semua berubah. Megawati dan PDIP mendukung Jokowi. Berlanjut hingga 2019. Pak Prabowo pun mengambil jalan lain, menjadi rival Jokowi dalam dua kali Pilpres. Padahal banyak yang mungkin belum paham kisah Jokowi sampai ke Jakarta dan menjadi gubernur. Ada jerih lelah Prabowo di balik semua itu.
Apakah Prabowo marah? Tidak! Apakah Prabowo memutus tali silaturahim? Tidak! Apakah Prabowo mendendam? Tidak! Ketulusan yang meluap-luap dari sanubarinya untuk menerima realitas politik, membaca manuver politik sahabat-sahabatnya sendiri, menjadi obat yang luar biasa. Itulah mengapa Prabowo terus tegak berdiri, berkarya, berbakti bagi bangsa dan negara hingga hari ini. Ketulusan macam ini menjadi barang langka di republik ini.
Tahun 2019, pasca kalah lagi di Pilpres, Prabowo menunjukkan kualitas kenegarawanannya dengan mendukung pemerintahan. Posisi itu sangat sulit. Dari rivalitas di ajang Pilpres hingga menjadi sekutu dalam kabinet. Pak Prabowo sudah secara cermat mengkalkulasi bukan untuk kepentingan dirinya tetapi demi kepentingan bangsa. Menjadi bagian dari kabinet adalah cara Prabowo berbakti untuk rakyat, mengabdi bagi negeri. Walaupun banyak pendukung kecewa, beralih, pergi, tetapi Pak Prabowo tetap teguh. Ia tahu ia ditinggalkan. Ia tahu ia dikata-katai. Ia tahu ia dipersepsikan negatif. Itu tidak soal baginya. Karena formula Pak Prabowo itu sudah paten. “Untuk kepentingan bangsa dan negara, tak boleh ada ruang bagi perasaan pribadi.”
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo selalu menyampaikan pesan ini. “Dalam kondisi bangsa yang masih sering dilanda konflik, keadaan ekonomi yang belum membaik, situasi sosial politik yang kerap bikin gaduh, setiap kader Gerindra diminta untuk menjadi agen perdamaian. Menjadi agen perdamaian itu wujud nyatanya mencintai sahabat dan merangkul lawan/musuh. Kita harus mencinta sahabat kita. Tetapi kita tidak harus membenci musuh kita. Lawan harus dirangkul jika
kita adalah pembawa damai. Setiap agen perdamaian harus berdiri di tengah-tengah, pada pendulum keseimbangan.” Pesan lainnya, “seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak”. Ini berarti membangun persahabatan, menjadi sahabat bagi semua orang jauh lebih luhur daripada menjadi musuh, menjadi duri dalam daging bagi orang lain. Kita hanya bisa membangun bangsa dan daerah dalam persahabatan, dalam persaudaraan, dalam kebersamaan, dalam saling respek.
Kemesraan yang terbangun dalam persekutuan kabinet, dukungan-dukungan total sebagai Menteri Pertahanan, kerja-kerja nyata dan berdampak positif untuk bangsa, ternyata tidak menjadi jaminan untuk mendapatkan dukungan politik ‘balas khilaf’ yang sudah terjadi di 2014.
Momentum Batu Tulis kedua semakin menegaskan bahwa Pak Prabowo masih terus dipermainkan, diberi harapan palsu dan diduakan. Malah, gencar terbangun narasi menduakan Prabowo dengan menduetkan Prabowo. Sungguh sakit bagi para kader, pengurus dan simpatisan Gerindra. Namun itulah realitas politik. Realitas ini memberi kode yang jelas bahwa kita memiliki musuh, kita berada diantara pemberi harapan palsu.
Apa sikap Prabowo? Sampai hari ini kita tidak mendengar ia memberikan pernyataan resmi soal kegusaran dan kemarahannya di depan layar kaca. Yang kita nonton, Prabowo terus bersafari mencari sahabat, membangun silaturahmi politik menemukan sekutu. Mungkin bagi Prabowo, realitas Batu Tulis itu sudah diduga. Karena tidak semua kawan bisa dipegang dari omongannya. Lebih baik mencari sahabat lagi daripada menyesali punya kawan yang kurang bersahabat.
Sikap Prabowo merespon dinamika politik akhir-akhir ini mungkin seperti kata-kata biblis ini: ‘ia menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya’. Ketika para kader, pengurus, simpatisan menjadi gusar, marah dan kecewa, Pak Prabowo justru melakonkan kata-kata biblis ini: jangan membalas orang yang melakukan kejahatan terhadapmu. Ketika ia menampar pipi kirimu, berilah juga pipi kananmu.’
Sikap macam ini hanya lahir dari jiwa seorang patriot. Pak Prabowo itu Sang Patriot. Sebagai patriot bangsa ia paham bahwa ketika ke medan juang, kemungkinan untuk kembali itu sangat kecil. Maka tatkala ia bisa kembali dan masih hidup, hidup itu harus dibaktikan untuk kebaikan banyak orang, untuk bangsa dan negara. Tak ada kata oportunisme dalam kamus patriot. Tak ada kata khianat dalam kamus patriot. Tak ada kata manipulasi dalam kamus patriot. Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Itu tertulis dalam kamus sang patriot.
Publik sudah melek politik. Mereka tahu membedakan mana patriot mana pecundang; mana ksatria mana hyporkit; mana yang tulus dan mana yang bulus. Lanskap politik nasional hari-hari ini terbaca jelas, tentang yang penuh ambisi menggenggam kekuasaan dan tentang demokrasi politik yang harus bertumbuh di atas nilai-nilai luhur. Jika hari-hari ini banyak orang mulai merapat ke Prabowo, banyak kalangan mulai bersekutu dengan Prabowo, banyak rakyat berempati pada Prabowo, itu karena ketulusannya yang seringkali dibaca sebagai ‘keluguan’ oleh penikmat kekuasaan politik lainnya.
Publik pada akhirnya paham. Momentum Batu Tulis hanyalah pigura yang membingkai lukisan tak menarik diamati, tak elok dipandang, tak puas diselami. Rakyat punya logika politik tersendiri. Jika kesetiaan Prabowo adalah timbul dan tenggelam bersama rakyat, maka sudah saatnya rakyat akan timbul dan tenggelam bersama Prabowo untuk Indonesia raya. Prabowo optimis menghadapi momentum 2024 bukan saja karena terbebaskan dari kaum-kaum yang bisa menjebaknya, yang akan menahan lajunya bergerak; tetapi semata-mata karena elan vital, daya gerak, gairah hidup rakyat sudah mulai bersamanya, bergerak bersama dengan petugas rakyat, bukan petugas partai tentunya.(tim)